Beranda | Artikel
Beriman Kepada Takdir Allah (1)
Sabtu, 25 April 2015

Iman kepada takdir memiliki kedudukan yang sangat penting dalam agama Islam. Hal ini ditunjukan dengan banyaknya dalil dalam Al Qur’an maupun Sunnah yang membahas tentang hal ini. Selain itu, di dalam Al Quran juga dijelaskan buah yang akan dipetik dari keimanan kepada takdir, serta kecelakan yang akan dialami oleh orang yang salah dalam memahami takdir. Sehingga penting bagi setiap muslim untuk memahami masalah ini dengan benar. Seseorang tidak akan bisa memahami takdir dengan benar kecuali melalui penjelasan dari Al Qur’an maupun As Sunnah, sebagaimana para pendahulu kita dari kalangan salaf memahaminya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, dan malaikat Nya, dan kitab kitab Nya, dan Rosul rosul Nya, dan hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk”.

Ibnu Ad Dailami berkata, aku mendatangi Ubai bin Ka’ab dan aku berkata, “dalam jiwaku ada sesuatu tentang takdir (yang membuatku ragu), maka bicarakanlah sesuatu kepadaku, semoga dengannya Allah menghilangkan sesuatu itu dari hatiku”, beliau berkata, “jikalau engkau berinfak dengan emas sebesar gunung uhud, tidaklah akan diterima sampai engkau beriman kepada takdir, dan engkau meyakini bahwa apa yang menimpamu tidak akan meleset darimu, dan apa yang meleset darimu tidak akan menimpamu, kalau engkau mati tidak dalam keadaan seperti ini, sungguh engkau termasuk penghuni neraka.” Ibnu Ad Dailami mengatakan, “akupun mendatangi Ibnu Mas’ud, Hudzaifah bin Yaman, Zaid bin Tsabit, seluruhnya menyatakan seperti itu dari nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Menghadapi musibah dengan iman kepada takdir

Setiap orang selalu ingin merasakan kebahagiaan di dalam kehidupannya. Segala cara ditempuh untuk mendapatkannya. Namun kebanyakan orang salah memaknai kebahagian dengan hanya bersandar kepada kenikmatan duniawi yang bersifat hissi. Padahal terkadang kenikmatan itu yang justru menjadi petaka bagi pemiliknya. Belum lagi ketika datang musibah, banyak orang yang salah menyikapinya, menjadikan musibah yang kecil menjadi terlihat besar, hingga banyak orang yang stres, depresi, hingga bunuh diri.

Padahal sudah menjadi sunnatullah kehidupan kenikmatan dan musibah datang silih berganti. Terkadang seseorang diberi kesehatan, namun di waktu lain ditimpa dengan penyakit. Adakalanya seseorang diberi kekayaan, namun di saat lain jatuh dalam kemiskinan. Di satu waktu seseorang dikaruniai seorang buah hati, namun di waktu lain ditinggal oleh kematan orang tersayang. Begitulah kehidupan, tinggal bagaimana seseorang menyikapinya.

Dalam hal ini, iman kepada takdir menjadi obat yang mujarrab sebagai penghibur ketika datang musibah. Ketika datang kenikmatan, seorang yang beriman kepada takdir akan bersyukur karena meyakini itu semua karunia dari Allah ta’ala. Ketika datang musibah pun, seorang yang beriman kepada takdir akan bersabar atau bahkan bersyukur, karena itu pun berasal dari Allah sebagai bentuk ujian yang bisa menjadi penghapus dosa dosanya.

Sepenggal kisah tentang takdir

Dalam sebuah buku berjudul “Tinggalkan Kegelisahan, Mulailah Kehidupan” yang ditulis oleh penulis terkenal yang bernama R.N.S Budhli, ada sebuah tulisan menarik yang berjudul (Aku Telah Hidup Di Syurga Allah). Dalam tulisan itu penulis ingin menunjukan tentang pentingnya iman kepada takdir dalam menghadapi manis pahitnya kehidupan. Selanjutnya biar Budhli sendiri yang menceritakan kisahnya.

Budhli berkata: “pada tahun 1918 M saya tinggal di pedalaman Afrika tengah, hidup bersama suku pedalaman di tengah gurun selama tujuh tahun lamanya. Saya pun menguasai dengan baik bahasa mereka, menggunakan pakaian mereka, memakan makanan mereka, tidur di perkemahan dengan mereka dan hidup seperti kehidupan mereka, sungguh hari-hari ketika saya bersama mereka merupakan sepenggal hidup saya yang membahagiakan, saya merasakan kedamaian, keselamatan, dan keridhoan dalam hidup.

Saya sudah belajar dari mereka bagaimana mengalahkan kekhawatiran, mereka sangat percaya dengan takdir, kepercayaan inilah yang telah menolong mereka untuk hidup dengan aman, dan menjalani hidup dengan mudah.

Mereka percaya bahwa apa yang ditakdirkan bagi mereka pasti terjadi, dan tidaklah seseorang di antara mereka ditimpa sesuatu kecuali sudah ditetapkan oleh Allah atasnya. Akan tetapi, meskipun begitu, bukan berarti mereka bertawakal kemudian berpangku tangan, berdiam diri tanpa berusaha dan bekerja! Sekali kali tidak!”

Kemudian dia melanjutakan kisahnya, “saya berikan contoh yang saya saksikan sendiri, suatu ketika terjadi badai gurun yang sangat dahsyat, dengan angin besar yang menerbangkan debu gurun padang pasir. Angin badai sangat panas, seakan akan rambut saya tercabut dari kulit kepala, hamper-hampir saya menjadi gila karenanya. Akan tetapi, tidak sedikitpun saya melihat salah seorang dari mereka mengeluh, bahkan mereka terlihat tegar, sambil mengatakan kalimat yang sering mereka ucapkan; “takdir sudah ditulis!”.

Setelah badai berlalu, mereka bergegas bekerja kembali dengan semangat yang lebih besar, mereka pun menyembelih domba kecil sebelum mati (karena badai), dan membawa hewan ternak yang lain ke sumber air untuk diberi minum. Mereka melakukan hal ini dengan tenang, tanpa banyak bicara, tidak juga mengeluh salah seorang dari mereka.

Ketua suku berkata, “kita tidak kehilangan banyak hal, sungguh kita diciptakan untuk kehilangan segala sesuatu, akan tetapi segala puji bagi Allah, kita masih punya 40% dari hewan ternak kita, dan kita bisa bekerja kembali dari awal”

Kemudian Budhli berkata: “ada juga kisah yang lainnya, suatu hari saya bersama sebagian dari mereka melintasi padang pasir dengan mobil, tiba-tiba salah satu ban mobil meletus, sementara sopir mobil lupa tidak menyediakan ban pengganti. Hal ini tentu saja membuat saya marah, serta merasa cemas dan gelisah, saya pun bertanya kepada salah seorang kawan saya dari suku pedalaman, “sekarang apa yang akan kita lakukan?”, dia pun mengingatkan saya, bahwa marah tidak akan menyelesaikan urusan, akan tetapi justru akan menimbulkan stres.

Maka kamipun melanjutkan perjalanan menggunakan mobil dengan tiga ban. Akan tetapi belum lama mobil kami berjalan, tiba-tiba kami kehabisan bensin. Hal ini pun tidak membuat salah seorang dari mereka mengeluh, bahkan mereka tetap tenang, dan kami pun berjalan kaki menempuh perjalanan panjang di tengah gurun”.

Setelah Budhi menceritakan kisah kehidupannya dengan suku pedalaman Afrika tengah, dia memberikan catatan: “sungguh tujuh tahun hidup bersama mereka telah menyadarkan saya, bahwa orang orang yang tertimpa penyakit penyakit jiwa, stres, depresi, seperti yang dialami orang orang amerika, eropa, dan negri-negri kafirnya, tidak lain merupakan korban dari ketiadaan iman kepada ketetapan Allah.

Dan selama tujuh tahun saya hidup di padang pasir, tidak ada sedikitpun rasa khawatir dalam diri saya, bahkan disanalah saya mendapatkan ketenangan, keridoan, dan kecukupan”.

Dan terakhir, penulis mengatakan: “setelah 17 tahun saya meninggalkan kehidupan mereka, saya tetap mengikuti kehidupan suku pedalaman dalam menghadapi ketetapan Allah ta’ala, sehingga dengannya, saya menghadapi segala kejadian yang menimpa saya dengan tenang dan damai.

Saya telah berhasil mengatasi kegelisahan, dan menenangkan jiwa saya dengan tabiat suku pedalaman, melebihi ketenangan yang dihasilkan oleh ratusan bahkan ribuan obat penenang yang dibuat oleh kedokteran”.

Bersambung insya Allah

***

Penulis: Abdullah Hazim

Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Hukum Membaca Basmalah Dalam Shalat, Ayat Alquran Tentang Menyindir, Doa Pilihan, Doa Pembuka Majelis Rumaysho, Nama Panglima Perang Islam


Artikel asli: https://muslim.or.id/25388-beriman-kepada-takdir-allah-1.html